Wednesday, May 16, 2007


SASTRA DALAM BERITA

Oleh: S. Putra Sulaiman*

Tom Wolfe pada tahun 1973 dari Amerika memperkenalkan jurnalisme sastrawi, genre yang terbilang baru dalam aliran jurnalisme dunia. Beliau menyebut genre ini dengan nama new journalism. Jurnalisme sastrawi disebut juga narrative reporting karena penyajiannya dalam bentuk narasi. Istilah passionate journalism juga sering digunakan untuk menyebut aliran ini. Ada juga yang menyebut jurnalisme sastrawi sebagai literary journalism. Terlepas dari itu semua, jurnalisme sastrawi menyodorkan hal baru yang menarik untuk dikaji.

Wolfe dan Johson mengemukakan unsur-unsur yang setidaknya harus dimiliki jurnalisme sastrawi. Unsur yang dimaksud yaitu gaya bercerita harus menggunakan adegan demi adegan atau dialog (scene by scene contruction), laporan yang utuh atau menyeluruh (immersion reporting), teknik pelaporan dengan riset dan berupaya mencari sumber-sumber yang berkaitan dengan pemberitaan (third person point of view), dan mengutamakan kedalaman pemberitaan sehingga membutuhkan waktu yang panjang untuk menghasilkan satu berita.

Yang unik dalam aliran ini adalah adanya teknik penggabungan antara unsur jurnalisme dan unsur sastra. Di mana jurnalisme berupaya menghadirkan sebuah fakta peristiwa dan sastra menekankan penyajian fakta dengan menghadirkan nilai kebenaran secara utuh. Gaya penulisan sastra sangat kental terlihat, sehingga pembaca tidak dibuat bosan jika berinteraksi dengan genre ini. Gaya yang dimaksud bukan sekadar menyajikan kata-kata puitis sekaliber karya Kahlil Gibran, melainkan gaya bercerita yang mengalir.

Andreas Harsono mengatakan dalam tulisannya “Jurnalisme sastrawi mengandung karakter, drama, babak, adegan, dan konflik.” Selain itu dia melanjutkan “Laporan jurnalisme sastrawi tidak pecah-pecah atau terpisah satu sama lain.” Roy Peter pengajar writing process dari Poynter Institute Floride mengembangkan formula 5W 1H menjadi produk baru. Dalam esainya yang berjudul Neiman Report, Who diubah menjadi karakter, what dijadikan alur, where menyatakan setting, when mengandung urutan waktu kejadian, why menjelaskan latar belakang, dan how disulap menjadi narasi.

Di Indonesia, aliran ini diperkenalkan oleh para wartawan yang pernah bergelut di Majalah Pantau. Dengan bekal yang dimiliki, mereka berupaya meramu tulisan berbahasa Melayu menjadi karya-karya yang menarik. Namun sayang, upaya tersebut mandeg karena keterbatasan dana untuk memublikasikannya.

“Laporan-laporan ini ibarat kawan lama yang datang bercerita” demikian kata Atmakusumah Astraatmadja. Memang, membaca jurnalisme sastrawi seakan menyajikan sesuatu yang super kompleks bagi kita. Ada pelibatan unsur psikologis berupa emosi. Pembaca diajari untuk berempatik kepada apa yang dia baca. Selain itu Linda Crhistanty turut menyumbangkan pendapat “Jurnalisme sastrawi itu harus panjang, dalam, dan terasa.”

Salah satu contoh jurnalisme ssastrawi adalah Hikayat Kebo, yang ditulis oleh Linda Crhistanty telah menunjukkan kelihaiannya sebagai penulis sekaligus jurnalis. “Hikayat Kebo” bercerita tentang Kebo, seorang pemulung yang mati dibakar di kawasan pertokohan Jakarta Barat. Tepatnya di belakang Mall Taman Anggrek. Terkesan ngeri dan sadis. Yang dipaparkan Linda dalam tulisannya menekankan pada maraknya tindak kekerasan moral yang kerap terjadi pasca Orde Baru.

Namanya juga berita, Linda mencoba menggali informasi mulai dari kalangan rendahan sampai kalangan atasan. Multigolongan dan kalangan telah ditemuinya untuk mendapatkan informasi yang akurat. Selain itu peliputannya juga menggunakan teknik wawancara yang dalam. Sehingga verifikasi yang menjadi esensi jurnalistik tersaji dalam tulisannya.

Kekentalan unsur sastra Hikayat Kebo bukan hanya dari teknik berceritanya yang menyerupai penulisan cerpen, novel, (bukan berita) tapi juga dalam pemilihan diksi yang jarang digunakan dalam penulisan berita yang selama ini kita baca di media cetak.

Enam pria melompat dari dalam taksi, kemudian sibuk menarik tubuh seseorang dari jok belakang. Kedua tangan dan kaki orang tersebut terikat kawat. Rintihan parau terdengar lemah dari tenggorokannya.

Dia sekarat.

Orang-orang mendekat dengan rasa ingin tahu. Mereka mulai berkerumun.

***

Telah ada upaya untuk mengkolaborasikan antara jurnalisme dan sastra. Itu membuat jurnalisme akan semakin indah. Dan sastra semakin memasyarakat. Jurnalisme sastrawi adalah upaya mensejajarkan antara karya cetak dan karya audio visual.

Tapi siapapun kita, entah itu sebagai pembaca, atau sebagai penulis sastra, kita harus yakin bahwa di dunia manapun, dan apapun genrenya, bagaimanapun balutannya, tentu saja tetap ada kepentingan ideologi dalam setiap kata “jurnalisme”.

“Siapa pun dia, jika tergabung dalam sebuah wadah yang bernama media maka akan sulit untuk bersifat netral. Akan selalu ada keberpihakan. Karena media adalah industri.” begitu kata Dr. Mansyur Semma, dosen Jurusan Komunikasi Unhas.

Dan mari kita sebagai penulis, menyambut kehadiran jurnalisme sastrawi dengan harapan bisa membawa angin segar bagi masa depan media cetak, dapat meningkatkan minat baca masyarakat, dan masyarakat bisa menikmati bacaan yang tak hanya memberi berita tapi juga menghibur. Dan yang terpenting, tak hanya menghibur tapi juga mendidik. Semoga!

*Mahasiswa Komunikasi Unhas 2005

Sekretaris FLP Wilayah Sulsel

Tulisan ini termuat di Majalah Islam Sabili Edisi Februari 2007

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home