Wednesday, May 16, 2007

cerpen

Aku, Vio, dan Cleo

Oleh: S. Putra Sulaiman*

Bocah itu basah kuyup. Hujan deras semenit yang lalu telah menyulap dirinya berpeluh air yang dikirim Tuhan dari langit. Dia menggigil, dan dengan gontai melangkah ke arahku. Agak ragu. Disodorkannya kaleng yang erat tergenggam di tangannya. Memelas, meminta aku mengisinya dengan sekeping koin atau mungkin sehelai uang seribuan. Kutatap matanya. Kutemukan sorotnya tajam. Sedikitpun tak kudapati muslihat di sana. Kuyakin, anak ini betul menderita. Kuraih selembar limaribuan. Kumasukkan ke kaleng yang dia sodorkan. Tatapannya berubah. Seakan tidak percaya dengan apa yang disaksikannya. Anggukanku memberinya suntikan kesungguhan. Senyumnya merekah, dan malu-malu berucap terima kasih, kemudian beranjak. Namun aku mencegat karena ingin tahu namanya. Dengan tersipu dia menyebut kata Vio. Vio...? Terdengar aneh dan lucu. Aku tersenyum.

Aku tetap mengawasinya. Kutemukan dia hendak menyeberangi jalan raya. Dia melambaikan tangan. Kubalas dengan sikap yang serupa. Malang, tiba-tiba AVANZA melaju kencang dari arah utara. Hanya dalam hitungan detik telah membuat Vio takluk. Tubuhnya tersungkur dan bersimbah peluh bercampur darah. Aku terkejut, sejurus kilat aku berlari. Kutemukan Vio terkulai tak berkutik. Aku mendekapnya.

“Dasar bocah tengik, kalau mau menyeberang lihat-lihat dulu.” Ketus perempuan yang kini telah berdiri tepat di hadapanku. Ditemukannya sosokku telah menggotong Vio malang yang kini tak sadarkan diri.

“Cleo...?” Tebakku.

Dia cuek, walau kesannya pura-pura. Wajahnya heran. Kini, dia menatap sosokku. Berusaha menemukan jawaban dari tanya yang terbersit di kepalanya. Lambat, dia mulai menemukan titik terang. Dengan ragu mencoba mengutarakan kata yang muncul di benaknya. Dia menyebut namaku pelan. Takut kalau terkaannya salah.

“Hans...? Kamu Hans khan?”

Aku memberinya senyuman lalu mengangguk pelan. Sorotku kembali kuarahkan ke Vio yang kini lemas. Cleo paham. Dia mempersilakan aku masuk ke mobilnya. Dan secepat kilat membanting setir. Hanya hitungan detik, AVANZA hitamnya sudah tiba tepat di depan rumah sakit. Aku membopong Vio keluar dari mobil. Beberapa orang perawat menyambut. Salah seorang di antaranya mengambil alih Vio kemudian membaringkannya di bangsal yang sudah tersedia. Vio kini dalam penanganan.

Aku berbalik. Ketemukan Cleo berdiri sendiri. Dia termenung. Tampak guratan cemas di benaknya. Ada sesal yang kini menjangkitinya. Langkahku membuyarkan tingkahnya. Aku mengajaknya ke ruang tunggu. Walau terlihat canggung, dia tetap melangkah. Sambil berbisik, dia berucap.

“Bagaimana keadaan anak itu? Tadi aku buru-buru. Aku sedikit lega karena bisa lolos dari jeratan lampu merah. Tapi bocah itu tiba-tiba menyeberang. Aku kehilangan kendali. Jadi tak punya waktu banyak untuk menghindar. Aku betul tidak sengaja.” Jelasnya membela diri.

“Jangan terlalu cemas. Lukanya tidak terlalu parah kok. Paling sebentar sudah bisa pulang. Semua ini kehendak Tuhan. Jadi, jangan pernah mengutuk apalagi menyalahkan diri. Okey!” Terangku.

Mendengar kata “Tuhan” raut Cleo berubah. Lukisan kesedihan jelas tergambar di wajahnya. Kudapati dia beku, menajamkan tatapannya pada ubin yang tertata rapi. Matanya memendam kedukaan. Cleo menerawang, mencoba melawan air mata yang meminta jalan pada retina yang membendungnya. Tapi Cleo kalah. Dia memilih menumpahkan air matanya yang tertahan. Dia kini menangis.

“Tuhan! Aku bahkan telah melupakannya Hans.” Ucap Cleo berat.

“Kau tahu Hans bagaimana aku dulu? Segala kekaguman, kehendak, dan cintaku kuberikan kepada-Nya. Bahkan aku telah bertekad untuk menisbatkan diriku utuh untuk-Nya. Tapi, setelah Tuhan mengambil ayah dan ibuku. Aku mulai menjauh. Dan kini, kutemukan diriku semakin jauh. Mungkin Tuhan menginginkan aku mental dengan ujian itu. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Aku terlalu lemah. Akhirnya, aku memilih kalah dari diriku sendiri.” Lanjutnya.

“Tapi Cleo…?” Ucapanku tertahan saat seseorang memanggil namaku.

“Pak Hans…?” Teriak lelaki itu.

“Iya betul, saya Hans.” Jawabku

“Anak anda sudah baikan. Anda sudah bisa membawanya pulang. Tapi, kondisinya belum terlalu pulih. Bapak dan ibu harus betul memerhatikannya. Dia butuh istirahat dan makan yang cukup. Ini resep obatnya. Bapak bisa menebusnya di apotek.” Jelasnya mantap. Rupanya dia dokter yang menangani Vio.

Aku geli dipanggil bapak. Disangkanya aku ayah Vio. Kulihat Cleo juga bengong. Kurasakan, dukanya mulai tertepis. Kami beranjak dari ruang tunggu menuju ruang perawatan. Kulihat Vio membolakan matanya. Menangkap sosokku dan sosok Cleo. Dia melangkah ke arahku kemudian mendekapku erat.

“Terima kasih kak. Terima kasih telah menolong Vio” tuturnya.

“Sudah. Vio harus berterima kasih sama Allah. Jangan sama kakak.”

Sementara itu Cleo memberi isyarat. Aku kembali membopong Vio. Kami pamit kepada dokter, kemudian beranjak setelah melunasi seluruh biaya pengobatan.

“Rumah Vio dimana? Biar kakak antar. Sekalian, kakak juga mau kenalan sama orang tua Vio” Cleo menawarkan jasa

Vio terdiam. Sesekali dia mengangkat wajahnya dan menyabung tatapannya ke arahku. Lamat-lamat dia berucap

“Vio tidak punya rumah kak. Vio nggak punya orang tua” tuturnya lirih.

Aku menghela nafas berat. Sulit kubayangkan. Betapa terjal jalan hidup yang harus dilalui Vio. Betul bocah malang. Seakan bayangan masa laluku kembali hadir. Aku berpikir tentang diriku. Tentang ketidakberuntunganku karena tidak tahu siapa orang tuaku. Ah...aku dan Vio sama. Kami anak yang tak pernah diharapkan kehadirannya.

“Vio tinggal sama kakak saja ya!” Kembali suara Cleo mengusik kebekuan.

“Tapi kak…?”

“Sudah, Vio ikut kakak saja. Lagian kakak juga tinggalnya sendiri. Dulu, kakak tinggal sama ayah dan ibu. Tapi ayah dan ibu kakak sudah pergi. Jadi, kalau ada Vio, kakak ada teman.” Tambah Cleo.

Kulihat Vio mengangguk pelan. Dia telah memutuskan ikut dengan Cleo. Vio telah memilih jalannya. “Semoga kebaikan dan kemudahan selalu menyertainya,”doaku.

“Kamu Hans. Kamu tinggal dimana? Biar aku antar.”

“Ah nggak usah. Saya bisa jalan sendiri. Rumah saya dekat kok.”

“Ngak papa. Ayo naik!” Seru Cleo.

Tepat di depan sebuah rumah panggung, AVANZA Cleo berhenti. “Pondok Toris” demikian bunyi plakat yang terpasang di dindingnya.

“Ini rumahku. Maksudnya pondokanku.” Tuturku.

“Ooo...jadi kamu tinggal di sini?” Cleo berucap seolah mengejek.

“Ntar kalau ada waktu. Aku dan Vio akan ke sini.”

“Tidak mampir dulu?” tawaranku hanya digubris senyuman.

Cleo memutuskan beranjak. Masih sempat kutangkap bias senyuman dari wajah Vio. Dia melambaikan tangan. Cleo! Kutemukan dia membuang tatapannya. Mereka berlalu bersama mentari yang kini mulai meredup. Dan aku, aku masih berdiri memandang AVANZA itu lenyap dari tatapanku

****

Sudah genap enam bulan. Aku terus menanti kabar. Ya…menanti kabar tentang Vio juga Cleo. Namun tak kudapatkan kabar itu. Mengapa? Aku ingat Vio pernah berjanji akan datang ke tempat ini. Tapi hingga hari ini, tak kutemukan janji itu terwujud. Mungkinkah Cleo lupa?

Senja tak lagi menyisakan siluet. Malam menyapa setiap jengkal kota. Aku termenung sendiri. Menajamkan tatapanku ke luar jendela. Kudapati lalu-lalang kendaraan ramai. Jauh di sana, banyak orang berkerumun di sisi jalan. Sedikitpun, aku tidak terusik. Tapi, hati memaksa inginku untuk tahu apa yang terjadi di sana. Aku bergegas. Tak butuh waktu banyak, aku telah menyatu dengan kerumunan. Aku berhasil menembus pagar manusia. Kini, aku berdiri tepat di dekat objek yang mengundang perhatian. Dua sosok tersungkur bersimbah darah, mungkin ibu dan anaknya. Malang!

****

Sulit dipercaya. Betul! Hanya Tuhan yang punya Kuasa. Aku yakin, hari itu Cleo datang untuk melunasi janjinya. Tapi tak ada yang mampu melawan keganasan takdir. Cleo telah pergi. Gadis manis itu, telah dipanggil Tuhan. Masih lekat bias kecantikan Cleophatra yang dimilikinya. Semoga ada istana yang layak baginya. Dan Vio! Bocah dengan berjuta impian itu, juga telah menuai cinta Tuhannya. Di sini, aku meringis sendiri. Di hadapan dua pusara yang masih baru. Aku berpeluh air mata. Kupandangi dua pusara itu. Dua nama, Vio dan Cleo terukir indah pada masing-masing nisannya. Kelak akan ada satu pusara lagi. Mungkin pusara itu untukku. Entah kapan? Namun aku masih tidak mengerti mengapa aku harus menangisi kepergian Vio dan Cleo. Siapa Vio? Siapa Cleo? Aku juga tidak tahu!

*Aktivis Forum Lingkar Pena

Termuat di identitas edisi akhir April 2007


SASTRA DALAM BERITA

Oleh: S. Putra Sulaiman*

Tom Wolfe pada tahun 1973 dari Amerika memperkenalkan jurnalisme sastrawi, genre yang terbilang baru dalam aliran jurnalisme dunia. Beliau menyebut genre ini dengan nama new journalism. Jurnalisme sastrawi disebut juga narrative reporting karena penyajiannya dalam bentuk narasi. Istilah passionate journalism juga sering digunakan untuk menyebut aliran ini. Ada juga yang menyebut jurnalisme sastrawi sebagai literary journalism. Terlepas dari itu semua, jurnalisme sastrawi menyodorkan hal baru yang menarik untuk dikaji.

Wolfe dan Johson mengemukakan unsur-unsur yang setidaknya harus dimiliki jurnalisme sastrawi. Unsur yang dimaksud yaitu gaya bercerita harus menggunakan adegan demi adegan atau dialog (scene by scene contruction), laporan yang utuh atau menyeluruh (immersion reporting), teknik pelaporan dengan riset dan berupaya mencari sumber-sumber yang berkaitan dengan pemberitaan (third person point of view), dan mengutamakan kedalaman pemberitaan sehingga membutuhkan waktu yang panjang untuk menghasilkan satu berita.

Yang unik dalam aliran ini adalah adanya teknik penggabungan antara unsur jurnalisme dan unsur sastra. Di mana jurnalisme berupaya menghadirkan sebuah fakta peristiwa dan sastra menekankan penyajian fakta dengan menghadirkan nilai kebenaran secara utuh. Gaya penulisan sastra sangat kental terlihat, sehingga pembaca tidak dibuat bosan jika berinteraksi dengan genre ini. Gaya yang dimaksud bukan sekadar menyajikan kata-kata puitis sekaliber karya Kahlil Gibran, melainkan gaya bercerita yang mengalir.

Andreas Harsono mengatakan dalam tulisannya “Jurnalisme sastrawi mengandung karakter, drama, babak, adegan, dan konflik.” Selain itu dia melanjutkan “Laporan jurnalisme sastrawi tidak pecah-pecah atau terpisah satu sama lain.” Roy Peter pengajar writing process dari Poynter Institute Floride mengembangkan formula 5W 1H menjadi produk baru. Dalam esainya yang berjudul Neiman Report, Who diubah menjadi karakter, what dijadikan alur, where menyatakan setting, when mengandung urutan waktu kejadian, why menjelaskan latar belakang, dan how disulap menjadi narasi.

Di Indonesia, aliran ini diperkenalkan oleh para wartawan yang pernah bergelut di Majalah Pantau. Dengan bekal yang dimiliki, mereka berupaya meramu tulisan berbahasa Melayu menjadi karya-karya yang menarik. Namun sayang, upaya tersebut mandeg karena keterbatasan dana untuk memublikasikannya.

“Laporan-laporan ini ibarat kawan lama yang datang bercerita” demikian kata Atmakusumah Astraatmadja. Memang, membaca jurnalisme sastrawi seakan menyajikan sesuatu yang super kompleks bagi kita. Ada pelibatan unsur psikologis berupa emosi. Pembaca diajari untuk berempatik kepada apa yang dia baca. Selain itu Linda Crhistanty turut menyumbangkan pendapat “Jurnalisme sastrawi itu harus panjang, dalam, dan terasa.”

Salah satu contoh jurnalisme ssastrawi adalah Hikayat Kebo, yang ditulis oleh Linda Crhistanty telah menunjukkan kelihaiannya sebagai penulis sekaligus jurnalis. “Hikayat Kebo” bercerita tentang Kebo, seorang pemulung yang mati dibakar di kawasan pertokohan Jakarta Barat. Tepatnya di belakang Mall Taman Anggrek. Terkesan ngeri dan sadis. Yang dipaparkan Linda dalam tulisannya menekankan pada maraknya tindak kekerasan moral yang kerap terjadi pasca Orde Baru.

Namanya juga berita, Linda mencoba menggali informasi mulai dari kalangan rendahan sampai kalangan atasan. Multigolongan dan kalangan telah ditemuinya untuk mendapatkan informasi yang akurat. Selain itu peliputannya juga menggunakan teknik wawancara yang dalam. Sehingga verifikasi yang menjadi esensi jurnalistik tersaji dalam tulisannya.

Kekentalan unsur sastra Hikayat Kebo bukan hanya dari teknik berceritanya yang menyerupai penulisan cerpen, novel, (bukan berita) tapi juga dalam pemilihan diksi yang jarang digunakan dalam penulisan berita yang selama ini kita baca di media cetak.

Enam pria melompat dari dalam taksi, kemudian sibuk menarik tubuh seseorang dari jok belakang. Kedua tangan dan kaki orang tersebut terikat kawat. Rintihan parau terdengar lemah dari tenggorokannya.

Dia sekarat.

Orang-orang mendekat dengan rasa ingin tahu. Mereka mulai berkerumun.

***

Telah ada upaya untuk mengkolaborasikan antara jurnalisme dan sastra. Itu membuat jurnalisme akan semakin indah. Dan sastra semakin memasyarakat. Jurnalisme sastrawi adalah upaya mensejajarkan antara karya cetak dan karya audio visual.

Tapi siapapun kita, entah itu sebagai pembaca, atau sebagai penulis sastra, kita harus yakin bahwa di dunia manapun, dan apapun genrenya, bagaimanapun balutannya, tentu saja tetap ada kepentingan ideologi dalam setiap kata “jurnalisme”.

“Siapa pun dia, jika tergabung dalam sebuah wadah yang bernama media maka akan sulit untuk bersifat netral. Akan selalu ada keberpihakan. Karena media adalah industri.” begitu kata Dr. Mansyur Semma, dosen Jurusan Komunikasi Unhas.

Dan mari kita sebagai penulis, menyambut kehadiran jurnalisme sastrawi dengan harapan bisa membawa angin segar bagi masa depan media cetak, dapat meningkatkan minat baca masyarakat, dan masyarakat bisa menikmati bacaan yang tak hanya memberi berita tapi juga menghibur. Dan yang terpenting, tak hanya menghibur tapi juga mendidik. Semoga!

*Mahasiswa Komunikasi Unhas 2005

Sekretaris FLP Wilayah Sulsel

Tulisan ini termuat di Majalah Islam Sabili Edisi Februari 2007

Saturday, April 14, 2007

Senja dan Ketakutan


Entah kenapa orang selalu saja senang kepada senja, padahal ia selalu saja menjanjikan perpisahan yang sendu. Kata seno gumira. Barangkali kekuatannya yang murung, misterius, serta siluet keemasan dalam keheningan yang agung itu adalah bahasa ketakutan yang justru membisiki manusia agar terus menghargai setingi-tingginya kehidupan. Usia mengajari kita bahwa ketakutan adalah fitrah, ia mengikuti manusia seperti juga sore mengikuti senja.

Jalan tak ada ujung, sebuah novel klasik karya mochtar lubis, seperti mau bilang kepada kita tentang manusia mestinya “berdamai” dengan ketakutan-ketakutannya. Berdamai seperti pada ketakutan anak kecil terhadap siluet ketika lampu kamarnya coba dimatikan oleh ibunya.

“tutup matamu, biar kumatikan lampu agar kau bisa tertidur”

Tapi itu tak cukup membantu, malah membuat masalah baru. Anak kecil biasa takut, apalagi tidur sendiri. Barangkali hal ini memaksa eross harus membuat lagu, lalu tasya dan duta pun menyanyikannya: “jangan takut akan gelap!”. Ingatkah ketika gesekan-gesekan angin kala hujan membuat kita mendekap erat pada badan ibu? Namun tetap saja aku dan anda (selalu) bisa tersenyum dan berlari-lari ketika semua telah selesai, esok pagi. Tentu saja tanpa pernah memikirkannya lagi.

Dan ketika dewasa kita lalu suka pada senja. Bukankah keremangannya itu selalu saja sama disetiap sempat di setiap waktu? Pesonanya yang perih seperti ingin menangisi ketidakberdayaan seorang pejuang, tatkala kepalan tangannya tak cukup tinggi meninju cakrawala. Tapi antara bola merah raksasa yang sebentar lagi tenggelam itu, selalu ada kepakan sayap burung yang pulang ke rumahnya, membawa keyakinan bahwa esok masih bisa datang dengan cerita yang berbeda.

barangkali kita telah sedikit belajar, bahwa semuanya selalu bisa diatasi dan kembali normal ketika terang datang mengganti tugas kelam menunggui semesta.

Ketakutan adalah kecemasan, bahasa lain dari sebuah mekanisme pertahanan diri manusia ketika merasa terancam dan tak cukup tersedia energi untuk menerjangnya. Manusia yang paham selanjutnya akan menyebutnya tantangan. Ada yang menjadikannya teman. Membuatnya menjadi semacam meteran. Mengukur derajat pengorbanan pada cita-cita. Melampauinya berarti telah memenangkan satu pertempuran awal, sebelum arena yang sejati. Diri sendiri. Dan sujud-sujud panjang di malam-malam itu akan mengubur kebiruan senjamu yang mematikan. Mengisinya dengan keyakinan besar. Bahwa kaulah kepakan sayap itu, menghadirkan harapan bahwa besok waktunya berkata pada fajar, aku telah melampaui batas ketakutanku! Inilah dadaku mana dadamu.

retno saputra swedye