Senja dan Ketakutan
Entah kenapa orang selalu saja senang kepada senja, padahal ia selalu saja menjanjikan perpisahan yang sendu. Kata seno gumira. Barangkali kekuatannya yang murung, misterius, serta siluet keemasan dalam keheningan yang agung itu adalah bahasa ketakutan yang justru membisiki manusia agar terus menghargai setingi-tingginya kehidupan. Usia mengajari kita bahwa ketakutan adalah fitrah, ia mengikuti manusia seperti juga sore mengikuti senja.
Jalan tak ada ujung, sebuah novel klasik karya mochtar lubis, seperti mau bilang kepada kita tentang manusia mestinya “berdamai” dengan ketakutan-ketakutannya. Berdamai seperti pada ketakutan anak kecil terhadap siluet ketika lampu kamarnya coba dimatikan oleh ibunya.
“tutup matamu, biar kumatikan lampu agar kau bisa tertidur”
Tapi itu tak cukup membantu, malah membuat masalah baru. Anak kecil biasa takut, apalagi tidur sendiri. Barangkali hal ini memaksa eross harus membuat lagu, lalu tasya dan duta pun menyanyikannya: “jangan takut akan gelap!”. Ingatkah ketika gesekan-gesekan angin kala hujan membuat kita mendekap erat pada badan ibu? Namun tetap saja aku dan anda (selalu) bisa tersenyum dan berlari-lari ketika semua telah selesai, esok pagi. Tentu saja tanpa pernah memikirkannya lagi.
Dan ketika dewasa kita lalu suka pada senja. Bukankah keremangannya itu selalu saja sama disetiap sempat di setiap waktu? Pesonanya yang perih seperti ingin menangisi ketidakberdayaan seorang pejuang, tatkala kepalan tangannya tak cukup tinggi meninju cakrawala. Tapi antara bola merah raksasa yang sebentar lagi tenggelam itu, selalu ada kepakan sayap burung yang pulang ke rumahnya, membawa keyakinan bahwa esok masih bisa datang dengan cerita yang berbeda.
barangkali kita telah sedikit belajar, bahwa semuanya selalu bisa diatasi dan kembali normal ketika terang datang mengganti tugas kelam menunggui semesta.
retno saputra swedye