cerpen
Oleh: S. Putra Sulaiman*
Bocah itu basah kuyup. Hujan deras semenit yang lalu telah menyulap dirinya berpeluh air yang dikirim Tuhan dari langit. Dia menggigil, dan dengan gontai melangkah ke arahku. Agak ragu. Disodorkannya kaleng yang erat tergenggam di tangannya. Memelas, meminta aku mengisinya dengan sekeping koin atau mungkin sehelai uang seribuan. Kutatap matanya. Kutemukan sorotnya tajam. Sedikitpun tak kudapati muslihat di sana. Kuyakin, anak ini betul menderita. Kuraih selembar limaribuan. Kumasukkan ke kaleng yang dia sodorkan. Tatapannya berubah. Seakan tidak percaya dengan apa yang disaksikannya. Anggukanku memberinya suntikan kesungguhan. Senyumnya merekah, dan malu-malu berucap terima kasih, kemudian beranjak. Namun aku mencegat karena ingin tahu namanya. Dengan tersipu dia menyebut kata Vio. Vio...? Terdengar aneh dan lucu. Aku tersenyum.
Aku tetap mengawasinya. Kutemukan dia hendak menyeberangi jalan raya. Dia melambaikan tangan. Kubalas dengan sikap yang serupa. Malang, tiba-tiba AVANZA melaju kencang dari arah utara. Hanya dalam hitungan detik telah membuat Vio takluk. Tubuhnya tersungkur dan bersimbah peluh bercampur darah. Aku terkejut, sejurus kilat aku berlari. Kutemukan Vio terkulai tak berkutik. Aku mendekapnya.
“Dasar bocah tengik, kalau mau menyeberang lihat-lihat dulu.” Ketus perempuan yang kini telah berdiri tepat di hadapanku. Ditemukannya sosokku telah menggotong Vio malang yang kini tak sadarkan diri.
“Cleo...?” Tebakku.
Dia cuek, walau kesannya pura-pura. Wajahnya heran. Kini, dia menatap sosokku. Berusaha menemukan jawaban dari tanya yang terbersit di kepalanya. Lambat, dia mulai menemukan titik terang. Dengan ragu mencoba mengutarakan kata yang muncul di benaknya. Dia menyebut namaku pelan. Takut kalau terkaannya salah.
“Hans...? Kamu Hans khan?”
Aku memberinya senyuman lalu mengangguk pelan. Sorotku kembali kuarahkan ke Vio yang kini lemas. Cleo paham. Dia mempersilakan aku masuk ke mobilnya. Dan secepat kilat membanting setir. Hanya hitungan detik, AVANZA hitamnya sudah tiba tepat di depan rumah sakit. Aku membopong Vio keluar dari mobil. Beberapa orang perawat menyambut. Salah seorang di antaranya mengambil alih Vio kemudian membaringkannya di bangsal yang sudah tersedia. Vio kini dalam penanganan.
Aku berbalik. Ketemukan Cleo berdiri sendiri. Dia termenung. Tampak guratan cemas di benaknya. Ada sesal yang kini menjangkitinya. Langkahku membuyarkan tingkahnya. Aku mengajaknya ke ruang tunggu. Walau terlihat canggung, dia tetap melangkah. Sambil berbisik, dia berucap.
“Bagaimana keadaan anak itu? Tadi aku buru-buru. Aku sedikit lega karena bisa lolos dari jeratan lampu merah. Tapi bocah itu tiba-tiba menyeberang. Aku kehilangan kendali. Jadi tak punya waktu banyak untuk menghindar. Aku betul tidak sengaja.” Jelasnya membela diri.
“Jangan terlalu cemas. Lukanya tidak terlalu parah kok. Paling sebentar sudah bisa pulang. Semua ini kehendak Tuhan. Jadi, jangan pernah mengutuk apalagi menyalahkan diri. Okey!” Terangku.
Mendengar kata “Tuhan” raut Cleo berubah. Lukisan kesedihan jelas tergambar di wajahnya. Kudapati dia beku, menajamkan tatapannya pada ubin yang tertata rapi. Matanya memendam kedukaan. Cleo menerawang, mencoba melawan air mata yang meminta jalan pada retina yang membendungnya. Tapi Cleo kalah. Dia memilih menumpahkan air matanya yang tertahan. Dia kini menangis.
“Tuhan! Aku bahkan telah melupakannya Hans.” Ucap Cleo berat.
“Kau tahu Hans bagaimana aku dulu? Segala kekaguman, kehendak, dan cintaku kuberikan kepada-Nya. Bahkan aku telah bertekad untuk menisbatkan diriku utuh untuk-Nya. Tapi, setelah Tuhan mengambil ayah dan ibuku. Aku mulai menjauh. Dan kini, kutemukan diriku semakin jauh. Mungkin Tuhan menginginkan aku mental dengan ujian itu. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Aku terlalu lemah. Akhirnya, aku memilih kalah dari diriku sendiri.” Lanjutnya.
“Tapi Cleo…?” Ucapanku tertahan saat seseorang memanggil namaku.
“Pak Hans…?” Teriak lelaki itu.
“Iya betul, saya Hans.” Jawabku
“Anak anda sudah baikan. Anda sudah bisa membawanya pulang. Tapi, kondisinya belum terlalu pulih. Bapak dan ibu harus betul memerhatikannya. Dia butuh istirahat dan makan yang cukup. Ini resep obatnya. Bapak bisa menebusnya di apotek.” Jelasnya mantap. Rupanya dia dokter yang menangani Vio.
Aku geli dipanggil bapak. Disangkanya aku ayah Vio. Kulihat Cleo juga bengong. Kurasakan, dukanya mulai tertepis. Kami beranjak dari ruang tunggu menuju ruang perawatan. Kulihat Vio membolakan matanya. Menangkap sosokku dan sosok Cleo. Dia melangkah ke arahku kemudian mendekapku erat.
“Terima kasih kak. Terima kasih telah menolong Vio” tuturnya.
“Sudah. Vio harus berterima kasih sama Allah. Jangan sama kakak.”
Sementara itu Cleo memberi isyarat. Aku kembali membopong Vio. Kami pamit kepada dokter, kemudian beranjak setelah melunasi seluruh biaya pengobatan.
“Rumah Vio dimana? Biar kakak antar. Sekalian, kakak juga mau kenalan sama orang tua Vio” Cleo menawarkan jasa
Vio terdiam. Sesekali dia mengangkat wajahnya dan menyabung tatapannya ke arahku. Lamat-lamat dia berucap
“Vio tidak punya rumah kak. Vio nggak punya orang tua” tuturnya lirih.
Aku menghela nafas berat. Sulit kubayangkan. Betapa terjal jalan hidup yang harus dilalui Vio. Betul bocah malang. Seakan bayangan masa laluku kembali hadir. Aku berpikir tentang diriku. Tentang ketidakberuntunganku karena tidak tahu siapa orang tuaku. Ah...aku dan Vio sama. Kami anak yang tak pernah diharapkan kehadirannya.
“Vio tinggal sama kakak saja ya!” Kembali suara Cleo mengusik kebekuan.
“Tapi kak…?”
“Sudah, Vio ikut kakak saja. Lagian kakak juga tinggalnya sendiri. Dulu, kakak tinggal sama ayah dan ibu. Tapi ayah dan ibu kakak sudah pergi. Jadi, kalau ada Vio, kakak ada teman.” Tambah Cleo.
Kulihat Vio mengangguk pelan. Dia telah memutuskan ikut dengan Cleo. Vio telah memilih jalannya. “Semoga kebaikan dan kemudahan selalu menyertainya,”doaku.
“Kamu Hans. Kamu tinggal dimana? Biar aku antar.”
“Ah nggak usah. Saya bisa jalan sendiri. Rumah saya dekat kok.”
“Ngak papa. Ayo naik!” Seru Cleo.
Tepat di depan sebuah rumah panggung, AVANZA Cleo berhenti. “Pondok Toris” demikian bunyi plakat yang terpasang di dindingnya.
“Ini rumahku. Maksudnya pondokanku.” Tuturku.
“Ooo...jadi kamu tinggal di sini?” Cleo berucap seolah mengejek.
“Ntar kalau ada waktu. Aku dan Vio akan ke sini.”
“Tidak mampir dulu?” tawaranku hanya digubris senyuman.
Cleo memutuskan beranjak. Masih sempat kutangkap bias senyuman dari wajah Vio. Dia melambaikan tangan. Cleo! Kutemukan dia membuang tatapannya. Mereka berlalu bersama mentari yang kini mulai meredup. Dan aku, aku masih berdiri memandang AVANZA itu lenyap dari tatapanku
****
Sudah genap enam bulan. Aku terus menanti kabar. Ya…menanti kabar tentang Vio juga Cleo. Namun tak kudapatkan kabar itu. Mengapa? Aku ingat Vio pernah berjanji akan datang ke tempat ini. Tapi hingga hari ini, tak kutemukan janji itu terwujud. Mungkinkah Cleo lupa?
Senja tak lagi menyisakan siluet. Malam menyapa setiap jengkal kota. Aku termenung sendiri. Menajamkan tatapanku ke luar jendela. Kudapati lalu-lalang kendaraan ramai. Jauh di sana, banyak orang berkerumun di sisi jalan. Sedikitpun, aku tidak terusik. Tapi, hati memaksa inginku untuk tahu apa yang terjadi di sana. Aku bergegas. Tak butuh waktu banyak, aku telah menyatu dengan kerumunan. Aku berhasil menembus pagar manusia. Kini, aku berdiri tepat di dekat objek yang mengundang perhatian. Dua sosok tersungkur bersimbah darah, mungkin ibu dan anaknya. Malang!
****
Sulit dipercaya. Betul! Hanya Tuhan yang punya Kuasa. Aku yakin, hari itu Cleo datang untuk melunasi janjinya. Tapi tak ada yang mampu melawan keganasan takdir. Cleo telah pergi. Gadis manis itu, telah dipanggil Tuhan. Masih lekat bias kecantikan Cleophatra yang dimilikinya. Semoga ada istana yang layak baginya. Dan Vio! Bocah dengan berjuta impian itu, juga telah menuai cinta Tuhannya. Di sini, aku meringis sendiri. Di hadapan dua pusara yang masih baru. Aku berpeluh air mata. Kupandangi dua pusara itu. Dua nama, Vio dan Cleo terukir indah pada masing-masing nisannya. Kelak akan ada satu pusara lagi. Mungkin pusara itu untukku. Entah kapan? Namun aku masih tidak mengerti mengapa aku harus menangisi kepergian Vio dan Cleo. Siapa Vio? Siapa Cleo? Aku juga tidak tahu!
*Aktivis Forum Lingkar Pena
Termuat di identitas edisi akhir April 2007